Image

Terimakasih Hong Kong

By Yunia Prastiwi

 

Namaku Intan. Aku adalah salah satu dari puluhan ribu wanita Indonesia yang mengadu nasib menjadi pekerja migran di Hong Kong. Aku belum menikah dan tahun ini adalah tahun ke enam aku tinggal di sini. Dulu cita-citaku adalah bisa melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi setelah tamat  SMA, menjadi guru atau pegawai negeri setelahnya, tapi impian itu seperti mustahil bagiku. Ayahku hanya seorang buruh tani musiman, Ibuku hanya berjualan kue keliling untuk membantu ayah. Kehidupan keluarga kami sangatlah sederhana. Untuk makan sehari-hari, nasi yang kami masak adalah jatah yang  diperoleh ayah sebagai buruh tani. Sedangkan lauk yang kami makan juga sangat sederhana: tahu, tempe dan sayuran yang dipetik dari pekarangan rumah sendiri. Aku mempunyai 2 adik perempuan, yang satu duduk di bangku SMP dan satunya lagi masih duduk di bangku SD. Orang tua kami seringkali terlambat membayar biaya sekolah hingga mendapatkan teguran dari pihak sekolah. Rumah kami pun juga sangat sederhana. Rumah peninggalan orang tua ayah yang bangunannya sudah tua dan kalau musim hujan tiba kami harus menebar ember atau mangkok di mana-mana untuk menadah air karena memang genteng-gentengnya sudah pada bocor. Karena semua alasan itulah, aku kubur dalam-dalam cita-citaku. Aku berniat merantau ke Hong Kong untuk membantu ekonomi keluargaku dan juga supaya kedua adikku bisa melanjutkan sekolahnya.

 

Singkat cerita setelah tamat SMA aku langsung mendaftarkan diriku ke salah satu PJTKI di Surabaya. Empat  bulan kemudian, akhirnya aku diberangkatkan ke Hong Kong. Rasa cemas dan khawatir tentu saja ada karena ini adalah pengalaman pertamaku bekerja di luar negeri. Job pertamaku menjaga nenek. Tidurku satu kamar bersama nenek, aku di ranjang atas dan nenek di ranjang bawah. Selain nenek, di rumah itu ada tuan, nyonya dan 1 anak mereka yang sudah SMP. Kendala bahasa itu yang paling aku rasakan di awal kedatanganku, aku tidak bisa menangkap apa yang mereka katakan dengan jelas. Sering kali aku mengerjakan sesuatu salah karena kurangnya kemampuan komunikasi yang aku miliki hingga terkadang ekspresi marah pun aku dapat kan dari wajah mereka. Aku pun terkadang juga merasa sedih, menahan tangis, tapi apa boleh buat aku harus bertahan dan berjuang demi orang-orang yang aku cintai. Bahkan ketika orang tuaku meneleponku, tak pernah sedikit pun kuceritakan  kesedihanku. Aku berusaha menutupi semuanya karena tak ingin mereka khawatir, aku bercerita bahwa aku baik-baik saja. Lambat laun akhirnya aku pun mulai paham dengan apa yang mereka katakan dan kemampuan komunikasiku pun meningkat. Aku menjadi betah tinggal bersama keluarga majikan hingga kontrak ke tiga ini pun aku masih tinggal bersama mereka. Aku sangat senang ketika aku mulai bisa berkirim uang sedikit demi sedkit untuk keluargaku di rumah. Aku sangat senang ketika kedua adikku bisa bersekolah dengan lancar dan perlahan-lahan rumah tua kami pun terbenahi. Rasa lelah yang aku derita tidak percuma demi  orang-orang  yang aku cintai.

 

Di Hong Kong  ini majikan memberikanku libur setiap hari Minggu. Aku senang bergabung dengan komunitas-komunitas belajar untuk menambah ilmu, juga teman. Aku belajar Bahasa Inggris, menjahit, komputer, rias, juga ilmu tentang bagaimana mengatur keuangan kita dengan baik. Aku berharap ilmu-ilmu itu akan  berguna untukku ketika aku sudah kembali ke tanah air yang kunantikan. Pertemuanku dengan banyak teman juga sangat menambah pengalamanku. Aku jadi belajar beradaptasi dengan teman dari berbagai daerah, berbagai latar belakang dan budaya yang berbeda, dan itu  menjadikanku lebih open minded. Aku sangat senang ketika mereka mau berbagi tentang pengalaman hidup mereka, tentang rintangan hidup yang pernah mereka lalui dan bagaimana cara mereka memandang dan mengatasi itu semua hingga bisa bertahan sampai saat ini. Banyak dari pengalaman hidup mereka yang lebih menyedihkan dari pada aku hingga terkadang aku terharu dan menangis  mendengarnya. Kehidupan di Hong Kong telah memberikanku banyak nilai kehidupan, yang mungkin nilai-nilai ini justru tak ada di bangku kuliah. Aku pun menjadi sadar, ketika harapan tak sesuai kenyataan, ketika apa yang kita inginkan tidak kita dapatkan, yakinlah bahwa itu bukan berarti suatu kegagalan, tapi  karena Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk kita dan ingin kita menjadi orang yang lebih bijaksana dalam kehidupan ini. Meski cita-citaku dulu tak terwujud, tapi kini aku sangat bersyukur karena aku telah membahagiakan orang-orang yang aku cintai dan justru aku memiliki banyak sekali pengalaman karena merantau di Hong Kong. Aku yakin semua pengalaman dan ilmu yang aku dapatkan disini akan sangat membantu dalam perjalanan hidupku selanjutnya. Terimakasih Hong Kong.